Friday, March 7, 2008

Salju Tak Turun di Gurun, Sayang!


Salju Tak Turun di Gurun, Sayang

“Bawakan aku matahari!” begitu katamu kala aku mendamba air hujan basahi tenggorokan
Maka tertatih kuseret jenjang rapuh
Kupintal bola kecil dari ujung-ujung cahaya yang bisa kurengkuh
“Tak cukup hangat” begitu katamu sedang peluh beraliran di wajahku

Dan ke gurun aku mengemis panas pada pasir yang berlarian ditiup angin
“Berikan aku panas, untuk matahariku” sepunggung pinta kupohonkan
Butir demi butir kudatangi, lalu ku kembali

“Sekarang bawakan aku salju gurun” ucapmu
Aku tak berkata apa-apa, pun aku tak pernah bisa berkata
Kau tertawa dalam diamku, tak kutahu mengapa
“Salju tak turun di gurun, sayang” sambungmu lagi sembari kau cium bibirku

Lalu masuk aku kedalam labirin warna, berputar-putar, berlari di atas jembatan

“Salju memang tak turun digurun, sayang” aku bergumam
Dan kau tahu itu!

Patenggangan, 07 Maret 2008

Monday, March 3, 2008

LAKI-LAKI DAN KATA-KATA


Vio masih mengingatnya.


Waktu itu, pepohonan seakan berubah jadi bayangan saling kejar mengejar dalam cahaya remang lampu-lampu jalan. Angin yang menjalar melalui kaca jendela memaksanya merapatkan jaket. Vio melirik karcis yang ia pegang. Selasa, 6 November. Pria disampingnya masih tekun dengan buku yang dipegangnya. Sama seperti tiga jam lalu ketika ia pertama duduk disitu. Ia tidak tahu siapa pria itu. Tapi rambutnya seakan mengingatkan pada John Lennon. Gaya lama.


“Kamu percaya hidup ini adil?”


Suara itu mengejutkannya. Ia melirik ke samping. Tidak ada orang lain yang masih terjaga. Berarti laki-laki itu bicara padanya.


“Aku tidak” sambung pria itu lagi sebelum ia sempat memikirkan jawaban pertanyaan aneh yang didengarnya. Matanya masih tertuju pada buku, namun ia yakin kali ini lelaki itu bicara padanya. Malam sudah terlalu larut untuk beberapa orang, dan tak ada tujuan yang lebih menyenangkan selain dunia mimpi.


“Tuhan, atau apapun yang membuat hidup ini ada, tidak memperuntukkan hidup untuk sebagian orang” laki-laki itu menutup buku yang dipegangnya. Pelan. Lalu ia menarik nafas panjang, seakan dengan itu ia telah melepas beban berat yang ia tanggung bertahun-tahun. Wajah lelaki itu bersih, tidak ada cambang maupun kumis. Namun Vio merasakan suatu kekusutan dibalik kerapian yang tampak. Suatu kelelahan. Ia memilih diam dan mendengarkan saja apa yang akan keluar dari mulut laki-laki itu. Namun nampaknya ia salah. Tidak satu kata bahkan satu huruf pun sampai ke telinganya. Laki-laki itu hanya memejamkan mata. Lalu hening, hanya ada derum halus mesin mobil yang ia dengar.


***


Vio masih mengingatnya.


Jakarta tidak lagi sebuah kota luas. Seakan-akan dunia menyempit menjadi kotak empat kali empat. Laki-laki dan kata-kata lanjutan yang ingin ia dengar membuatnya berubah jadi sosok perasa dan emosional. Ia tidak sempat bertanya mengapa kata-kata itu ada dan dibiarkan menggantung begitu saja. Ia bahkan tidak sempat melihat dimana laki-laki itu turun. Ia melihat hanya kursi kosong disebelahnya ketika ia terjaga. Tidak ada siapa-siapa.


Laki-laki itu, kata-katanya, membayangi setiap langkah Vio. Di kantor, di tempat tidur, di toilet, dimana-mana. Ia sudah mencoba bertanya pada para sopir di pool bus yang ia tumpangi. Namun tidak ada yang tahu. Tidak juga dengan John Lennon. Ia sudah memutari Jakarta dari ujung ke ujung, kampung ke kampung, lorong ke lorong, namun laki-laki dan kata-katanya itu tidak lagi ditemuinya. Ia menghilang bagai asap. Namun tidak bagi Vio. Lelaki itu melekat di angan-angan. Melarut dalam mimpi.


Setiap kali ia pulang dari kantor, ia tidak langsung menuju rumah. Ratusan ribu ia keluarkan untuk membayar taksi menemaninya berkeliling. Keinginannya cuma satu. Berjumpa dengan laki-laki itu dan bertanya mengapa kata-kata itu ada. Ia menyesal tidak menanyakan langsung sewaktu laki-laki itu disampingnya. Ia malah terhasut oleh kantuk celaka dan terbuai dalam mimpi yang kini jarang bisa ia dapati. Sekarang hanya mimpi yang sama tiap malam. Tentang kata-kata dan laki-laki. Laki-laki yang sama. Kata-kata yang sama.


Ia tidak mengerti mengapa ia begitu terobsesi dengan laki-laki dan kata-katanya itu. teman-temannya pun tidak. Ia hanya merasa bahwa ia harus mendengar lanjutan yang seharusnya ia dengar. Bukan yang lain. Sahabat-sahabat dan orang terdekatnya sudah berulangkali mendengar cerita Vio dan berulangkali pula mereka menganjurkan untuk melupakan saja. Ada yang menganggap ia hanya membuang-buang waktu memikirkan hal itu, ada yang menyarankan supaya ia ambil cuti saja dan menenangkan diri sementara ke tempat lain, ada juga yang malah menyuruhnya memasang iklan di surat kabar. Tapi ia tidak yakin pada dirinya sendiri bahwa ia bisa lupa akan hal itu semudah ia lupa mematikan televisi dan lupa mandi pagi. Ia malah menganggap aneh teman-temannya yang tidak peduli tetang laki-laki itu. Tidak ingin mengetahui lanjutan kata-katanya. “Mengapa cuma aku yang peduli?” fikirnya kemudian.


***


Vio masih mengingatnya.


Hari ini ia berada di Jogja. Ada tugas kantor yang membuatnya hadir di kota ini. Kota yang sedikit lebih tenang dibandingkan kota Jakarta. Ia masih berharap menemukan laki-laki itu walau di tempat jauh sekalipun. Seperti saat ini. Barangkali saja laki-laki itu seorang yang suka jalan-jalan. Barangkali saja pemandangan bangunan yang berbeda, jumlah pepohonan yang agak banyak, dan onthel-onthel yang berkeliaran di Malioboro akan mengantar pada kenangannya bertahun-tahun lalu.


Ia pernah berdiri dan berkoar-koar tentang keadilan, kemanusiaan, dan segala tetek bengek demokrasi. Betapa hebatnya, betapa waktu itu ia merasakan darahnya menggelora menyuarakan hati rakyat, menyuarakan ketidakadilan bersuara, menyuarakan suara koran-koran yang dibredel. Dengan semangat empat lima ia berdiri di atap mobil, berteriak dengan megaphone didepan mahasiswa-mahasiswa yang ikut bersorak demi kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Aku adalah pejuang demokrasi” fikirnya kala itu. Dengan menyandang jaket almamater, mengacungkan kepalan tinju, dan berbicara didepan orang banyak, ia merasa telah menjadi pahlawan. Ia merasa telah berjuang demi kata-kata yang kini begitu bebas dikeluarkan orang. Bahkan carut yang tidak lagi terbendung adalah buah perjuangannya. Buah idealismenya.


Ya...ia adalah pejuang, sampai suatu ketika. Ia dipanggil oleh sebuah instansi pemerintah dalam negeri yang tertarik dengan sepak terjangnya memimpin pergerakan mahasiswa, menyuarakan kata, menyuarakan suara akar rumput. Ia diberi pekerjaan dengan gaji menggiurkan untuk seukuran pejuang, lebih banyak dari dua belas bulan kiriman orangtuanya. Begitulah..suara dan kata-kata yang ia perjuangkan menggantung begitu saja, tanpa ujung. Megaphone yang menjadi teman ia berkoar-koar dulu entah dimana, apakah masih tergeletak di sudut sekre seperti ketika ia tinggalkan. Ia tidak tahu. Ia tidak memperhitungkan perasaan rakyat. Perasaan orang-orang gagap yang begitu ingin mendengar kelanjutan suaranya. Perasaan yang sama, ketika ia mendengar kata laki-laki itu “Hidup ini tidak adil” lalu diam, juga tak berujung. Ia tahu sekarang mengapa ia begitu ingin bertemu laki-laki itu. Ia ingin menanyakan kelanjutan kata-katanya. Mengharapkan kepastian kata-kata yang ia dengar. Ia faham sekarang mengapa laki-laki itu begitu menghantui. Laki-laki itu mengejeknya!


***


Vio masih mengingatnya.


Vio melihat kerumunan orang di satu sudut Malioboro. Mungkin ada tukang obat sedang menawarkan dagangan. Orang-orang zaman sekarang memang sedang butuh obat, fikirnya. Ia tidak begitu tertarik. Obat adalah urusan individu, dan setiap individu memiliki penyakit kompleks yang butuh obat berbeda pula. Vio masih ada urusan lebih penting yang harus ia selesaikan.



Kudengar suara

dari jantung nuraniku

mencari kata

mencari bahasa

mencari manusia

mencari arti

kudengar suara

dari jantung nuraniku

mencari merdeka

mencari saudara

karena rindu akan mimpi

damai yang abadi

itu suara

yang terdengar dari jantung nuraniku

adalah suaraku

tapi juga suaramu

suara kita

nyaring kumandang

namun sayang

jauh di cakrawala1


Ia tertegun, seakan ia pernah mendengar suara itu, tapi dimana? Suara itu tidak asing baginya. Tak salah lagi. Ia amat sangat kenal dengan suara itu. Intonasi yang berbeda tidak membuat suara itu mudah dilupakan. Ia melihat pada kerumunan orang tempat sumber suara itu berada. John Lennon! Adrenalinnya berpacu demi melihat rambut gaya lama yang selama ini masuk dalam alam bawah sadarnya. Laki-laki itu, penyair jalanan! Ia tidak memegang megaphone dan jaket almamater, tidak pula diatas atap mobil, hanya di salah satu sudut Malioboro. Ia juga tidak jual obat, namun memberi puisi. Memberi kata-kata.


Tiba-tiba seolah ada magnet menarik kakinya menuju kerumunan tersebut. Langkah kakinya beranjak menuju kesana. Tergesa. Enam meter lagi. Ia seakan-akan melihat bayangan dirinya sendiri berdiri di pusat keramaian itu. Namun bedanya ia adalah pejuang, bukan penyair. Empat meter lagi, ia akan sampai dan menjabat tangan lelaki itu, menanyakan kelanjutan kata-kata yang begitu ingin ia dengar. Empat meter lagi, sementara mobil yang melaju kearahnya cuma berjarak satu setengah meter. Ia tidak peduli, kali ini ia tidak akan melepaskan lelaki itu. ia akan mempertanyakan ejekannya. Seolah mewakili ejekan orang-orang yang dulu ia tinggalkan. Ia tak lagi peduli ketika bumper depan mobil itu menghantam keras tubuhnya dan membuat ia terlempar jauh ke atas trotoar. Ia hanya ingin bertanya kenapa ia masih mengingat laki-laki itu. Saat cahaya yang masuk ke matanya perlahan meredup dan telinganya sayup mendengar orang banyak berteriak. Ia tidak peduli. Karena sekarang ia sudah tahu jawaban pertanyaannya sendiri. Ia sudah tahu kelanjutan kata laki-laki itu.


“Hidup memang tidak adil!”


Patenggangan, 30 November 2007


Catatan:

1. Puisi Hersri Setiawan berjudul Suara dalam antologi “Inilah Pamflet itu”:2007

Requiem Kata


Kumpulan kenang mengusir bayang dedaun nyata sebab pesan
Bernyanyi Lacrymosa ala Mozart
Dalam genggaman

Engkau menari antara rimbun pohon-pohon kata

“Mengapa jarak terasa kentara?”
“Malang, Nawangwulan tak bertempat di bumi!”
Pun aku bukanlah Jaka.

Dan requiem kata mengalun…..

Patenggangan, 03 Maret 2008