Monday, December 21, 2009

Pertemuan (?)

Puisi ini adalah hasil lomba menulis puisi dengan beberapa rekan: Andhika Maesa Putra, Septri Lediana dan Yulia Nengsih. Puisi tersebut harus mengandung kata-kata: daun, gelas, rokok, lilin dan beranda. Seharusnya puisi ini sudah diupload dalam waktu 24 jam, namun karena ada halangan yang tak bisa saya sebutkan disini, saya baru bisa mengupload jam 21.30.
Maaf...



Pertemuan (?)

Di beranda, kenangan saling himpit menghimpit,
mengaburkan derit pintu,
Tingkap dan gorden-gorden lusuh
Kaukah disana,
duduk menjalin sendu bersama lilin-lilin yang mejelma abu?

Mungkin…
Sebab, pada halus tanganmu, kau pernah tuliskan dongeng
Tentang gerimis yang mengembun diatas daun
tentang gelas-gelas bertatakan sakit yang menahun
atau bahkan juga tentang pelarian-pelarian kecil
Dimana aku dan kau selau jadi pemain
Tak pernah bersua

Hentilah,
tidak ada janji pada api ketika rokok menjelma asap abu-abu
tidak ada cerita baru
Hanya ada lelah yang berbentang jarak panjang

Aku takkan memulainya lagi
Tak juga menunggumu

Patenggangan, Juni 2009

Sepagi Idul Adha (aku rindu ibu...)

:Ihsan Yauma

Sepagi Idul Adha, kita mengetam kalimat-kalimat,
mendengar ketuk-ketuk papan tidur,
membaui masakan ibu,
membakar tembakau di kamar mandi (ah, kau selalu begitu),
sebelum akhirnya menuju kereta (sebelahnya kita menyimpan sepatu)

saat senja
kau mendayung sepeda tua,
aku duduk dibelakangnya
berencana menuju banda bakali
(yang akhirnya tak pernah kita temui),
menyambangi gadis tetangga
dan mendatangi surau mungil yang berjarak hanya lima kaki

"tidakkah kau rasa kini
betapa pahit sereguk ampas kopi?"


Az-zahra, Juni 2009

Rumah Harau



:Y.A

kau dan aku berjanji menyusur harau hingga lansau
ke batang tabik.
janji-janji yang mengalir
seumpama air ngalau sampai ke hilir
selembut syair-syair yang berkulum di bibir

"jemput aku" bisikmu di sela-sela waktu subuh
subuh-subuh yang menjelma rindu dan candu
yang dulu pernah membawa kita
sebelum tahajud menyuruh singgah berlama-lama
"kita akan segera pulang, sayang"

bersabarlah..

Patenggangan, Mei 2009

Hawa yang Menahan Hujan



di sana kau adalah Hawa yang ditinggal Adam
yang tidak pernah mempermasalahkan rusuk, juga asal-usul
"tidak ada yang dicuri" begitu katamu

namun kita benar-benar telah melewati musim
dan waktu yang berkelindan:

"hujan-hujan yang menggeram diantara semak yang temaram,
serta serantau kemarau yang menghirau
."


tak ada cerita tentang iblis, kala Adam menitip sebentuk tangis (juga risau)
tak ada cerita tentang apel maupun buah khuldi,
tertulis di riwayat kitab para nabi

giliranmu,
tulislah..

"akulah Hawa yang menahan hujan.."

Patenggangan, Mei 2009

Tale of the Eighth Gurindam and Roses in A Glass

Should I heard the old tale about a window where memories keep looking outside with their shiny eyes?
You were not talking through a radio with "1980" or somethin' labeled in front of it's box, yet with a new beautiful LCD monitor so I could see clearly inside. There was a picture of roses full of thorns that speared my hands when I tried to wave -even- before the glass.

There was gurindam which not completed yet when the program is over. Even eight was still in a half finished. I re-read every single fonts used, found that you're there. The picture was still clear, yet this time I can touch the rose and left the pain behind.

If someday anyone of you see the roses in a glass while pieces of paper with twelve gurindam left in front. It is a single tale, where the window of memories looking outside with their shiny eyes. I've finished it! Without a single drop of claret or pieces of thorn to pull in my hands.

Patenggangan, Mei 2009

Senja yang (masih) bercerita...



:bidadari senja

di teluk itu dulu, kita pernah berpagut dengan kenangan, bukan?
menatap kapal-kapal kecil berlampu abu-abu,
burung-burung bersayap getir menyanyi sendu,
dan hamparan pasir yang memberikan tempat untuk ombak beradu

diteluk itu pula, kau ingat, kita pernah berjanji dulu:
"bila senja menjemput malam, kitalah yang mesti meratapi
pahitnya pertukaran abadi yang telah dititipi hati kita sendiri"


Tapi, teluk itu pula sayang, sampai saat ini ia masih disitu
tidak sedikitpun memberi jejak pada cerita-cerita kita yang haru biru

maka, tidakkah kau ingin kita beranjak saja
dan mencoba bercengkerama dengan senja ditempat yang berbeda?


Patenggangan, Mei 2009

Tentang Hujan, Payung, dan Teka-teki Lainnya


: Siti Nurbaya

Tidakkah semua ini begitu memedihkan layaknya hujan diawal bulan?
Kala kau dan aku menarikan tarian tentang musim yang tak pernah kita temui
lalu kita membuka payung di Bukit Siti Nurbaya, mencoba menggurui nasib
tapi siapa itu yang menangis, sedang hujan belum berhenti mengiris?

Di lain senja, engkau dan ekor layang-layang di atap rumah masih membiru kenangan
sedang aku berujar tentang ombak yang menggigil di gerigi pantai
kau tanya aku tentang pintu, sungai, dan teka-teki yang belum usai kujawab
namun senja semakin murung
malam itu, kau dan payungmu kuncup
aku masih disini, berdamai dengan jantung yang seakan berhenti berdegup.

Malam sentimentil
Tarok, Bukittinggi
1 Mei 2009

Pada Sebuah Pantai: Interlude

Puisi Goenawan Mohammad
yang pernah kubacakan didepanmu



Semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang sentimentil.
Yakni ketika pasang berakhir, dan aku menggerutu,
`masih tersisa harum lehermu';dan kau tak menyahutku.
Di pantai, tepi memang tinggal terumbu, hijau (mungkin kelabu).
Angin amis.
Dan di laut susut itu, aku tahu, tak ada lagi jejakmu.
Berarti pagi telah mengantar kau kembali, pulang dari sebuah dongeng tentang
jin yang memperkosa putri yang semalam mungkin kubayangkan untukmu,
tanpa tercatat, meskipun pada pasir gelap.
Bukankah matahari telah bersalin dan melahirkan kenyataan yang agak lain?
Dan sebuah jadwal lain?
Dan sebuah ranjang dan ruang rutin, yang setia, seperti sebuah gambar keluarga
(di mana kita, berdua, tak pernah ada)
Tidak aneh.
Tidak ada janji pada pantai yang kini tawar tanpa ombak
(atau cinta yang bengal).
Aku pun ingin berkemas untuk kenyataan-kenyataan,berberes dalam sebuah garis,
dan berkata: `Mungkin tak ada dosa, tapi ada yang percuma saja.'
Tapi semua ini terjadi dalam sebuah sajak yang sentimentil.
Dan itulah soalnya.
Di mana ada keluh ketika dari pohon itu mumbang jatuh seperti nyiur jatuh
dan ketika kini tinggal panas & pasir yang bersetubuh.
Di mana perasaan-perasaan memilih artinya sendiri,
di mana mengentara bekas dalam hati dan kalimat-kalimat biasa berlarat-larat
(setelah semacam affair singkat), dan kita
menelan ludah sembari berkata: "Wah, apa daya.'
Barangkali kita memang tak teramat berbakat untuk menertibkan diri dan hal ihwal dalam soal seperti ini.
Lagi pula dalam sebuah sajak yang sentimentil hanya ada satu dalil: biarkan akal yang angker itu mencibir!
Meskipun alam makin praktis dan orang-orang telah
memberi tanda DILARANG NANGIS.
Meskipun pada suatu waktu, kau tak akan lagi datang padaku.
Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal, mungkin pula tak kekal.
Kita memang bersandar pada mungkin.
Kita bersandar pada angin.
Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk-apa.
Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga pada sesuatu yang sia-sia.
Sebab kersik pada karang, lumut pada lokan,mungkin akan tetap juga di sana -apapun maknanya -

~1973~

Saturday, April 25, 2009 at 10:39pm

The King who Goes Nowhere


A bright shiny day, a blue cart passed a village, small village. The cart is owned by a king. He sat calmly enjoying the view of the village. An old obedient guardian walked in hast beside the cart. The breeze wind shaked the leaves to fall down from the trees. What a nice afternoon.

Yet, the beautiful day was ruined by the scream came from the cart. Uh-oh, a tiny horse slept in the middle of the road. The king said angrily to the guardian.

"Hey, whose horse is this?"
"I am sorry, my lord, maybe it is belong to the villagers"
"Hei, I don't care who has it" The king shouted again "Get it out of my way!!"

The old guardian tried to wake the horse up. He failed. Then he tried to move it to the roadside. Unfortunately, he was too old to do such a work. The king lost his patience. His face was red like the gargoyle pictured in children short story, frightening. He came out from the cart and tried to help the guardian moving the horse to the roadside.

Two minutes after, the horse was still in that place. The king became more angry. He screamed loudly to nobody.

"WHOSE HORSE IS THIS???"
No one answered, so did the guardian.

Wait... What was that? Two horns raised from the king's head.
Now, he looked like a wild animal. He brutally knocked the head of the horse so the head sag in to the other side. Then he dragged it cruelly out of the road. Huffh, finally the space was enough for the king to pass.

The king seemed still angry. He shut the cart door harsh and hardly. The cart was push ahead passing the small road. The dust showed that the king has gone.
Yet, actually with that accident, he went nowhere...

Nowhere.....

To whom it may concern
sebuah peristiwa pada suatu sore
Senin 20 April 2009

Dialog di satu senja...




<1>

Hon, kita lagi ngeliat langit dan matahari yang sama kan?


Yup.. I can see your face in that clear orange sky..
Is it you, hon?


<2>

I also can see you smiling at me
Yeah, maybe that's me, because I'm pretty close to the sky now

Aku lagi di atap rumah
Liatin layang-layang
and the orange sky..

Can I fly beside you hon?
Touch your hair with my fingers and kiss you in the forehead?
What a wonderful world, baby..
It will always be wonderful as long as you beside me


<3>
Aku disini menunggumu di atap rumahku
Dipayungi langit senja..
Semilir angin..

Dan tarian ekor layang-layang


Sementara aku disini, juga menunggumu
ditemani debur ombak dan pesona senja yang memerah
Kapan pertemuan itu menemukan pertemuannya sendiri?


<4>

Jangan susahkan hatimu dengan pertanyaan-pertanyaan itu
bukankah sore ini cukup indah??
saat langit merah melukiskan senyum

dan angin membisikkan rindu??

yaa, rindu ini begitu indah
seindah matahari yang perlahan ditarik kedasar laut
meninggalkan semburat jingga dimataku
Tapi aku tak ingin kau seperti senja yang memberi keindahan sejenak, lalu pergi begitu saja
jadilah senja abadi yang bisa kubingkai dan kuletakkan di meja kamar
biar kupuaskan menatapmu, menikmatimu...


<5>

Rindu adalah ingat..
ia akan selalu indah, selama kau mengingatnya..
Jangan risau.. Kau pecinta senja...

besok ia akan datang lagi
selama mentari pagi tetap bercahaya...


Namun ia tetap akan hilang seketika..
Haruskah?


<6>

Hanya sesaat..

Menata warnanya..

Agar selalu indah dimata pencintanya...

Jika itu alasannya


END
18:39:18 19/04/2009

Sepagi Kopi



Ia tak seharusnya menyiapkan secangkir kopi panas itu untukmu pagi-pagi sekali
agar detik ini kita bisa menikmati sesapan teh yang telah kubuat untukmu jauh-jauh hari

Friday, April 3, 2009 at 3:07am

Just Saying What I Need to Say



Sudah lama sekali aku tak mengecap kedamaian.
Malam ini aku mendapatkannya.

Duduk di teras kamar kos,
Merasakan udara sejuk sisa-sisa hujan tadi sore
Menatap langit
Mendengarkan rintik air yang masih menetes dari atap

Ah, betapa menyenangkan!!!


7 Maret 2009, 12:37 AM
After watching "The Bucket List"

Padang Tiga Malam (Terinspirasi judul film dokumenter seorang sahabat "Padang Sedap Malam")

Akhirnya petualanganku menjelajah malam di kota Padang selesai sudah. Meski hanya berlangsung selama tiga malam, namun ada banyak hal baru yang kutemui. Hal baru yang membuat aku harus mempercayai bahwa ternyata kehidupan ini memiliki banyak ruang lain selain apa yang kutempati selama ini.

Malam Pertama

Credit to LeyalaShysm @ deviantart

Awalnya hanya sekedar sebuah ajakan untuk keluar rumah dari seorang teman. Kebetulan beberapa malam ini cuaca bersahabat, aku memutuskan untuk ikut. Malam itu kami menuju kawasan UK, sebuah kawasan yang dinilai agak elit untuk ukuran mahasiswa (tidak seperti Labor dan Patenggangan yang rata-rata ditinggali mahasiswa dengan taraf hidup menengah ke bawah, seperti aku). Yah, setidaknya kampus yang ada di area tersebut memang terkenal dengan ke-elitannya.

Kami berhenti di sebuah rumah. Entah rumah siapa, akupun tidak begitu jelas, karena malam itu aku berniat cuma untuk ikut.
No question! Rumah itu terlihat megah dengan dua lantai dan desain gaya eropa. Nyaris, tidak terdengar apa-apa dari luar, namun begitu masuk ke dalam baru terdengar suara-suara heboh. Cukup banyak manusia disana. Perempuan dan laki-laki berbaur di ruang tamu sementara di ruang tengah ada sekelompok lain yang tengah menggeleng-gelengkan kepala mengikuti musik. Seperti dejavu, aku seakan pernah melihat suasana seperti ini dalam sinetron-sinetron sampah Indonesia sekarang. Tidak ada orang yang aku kenal sama sekali, semuanya baru, sedangkan temanku mulai berbaur dengan sekelompok perempuan dan melakukan cipika-cipiki. Haha, aku juga mau, sayang tidak ada yang kenal. Alhasil, aku hanya duduk disebuah sofa dengan gaya sedikit jaim dan menikmati minuman kaleng yang tersedia.

Hampir jam 12 malam, atmosfer mulai sedikit berubah. Irama musik bertukar dengan beat yang lebih cepat. Aku menolak dengan halus ketika ditawari untuk ikut bergabung di ruang tengah. Astaga, baru aku menyadari ternyata perempuan-perempuan tadi juga menghisap rokok. Itu belum seberapa, tak lama kemudian ada dua orang laki-laki masuk rumah membawa sebuah kotak yang ternyata berisikan minuman-minuman keras bermerk. Dan suara sorak pun terdengar ketika minuman-minuman itu mulai dibagikan. Bahkan, perempuan-perempuan tadi ikut berebut dengan gelas-gelas berisi es batu ditangan. Oh My... Aku sekarang ada dimana? Di Padangkah? sebuah kota yang dinilai masih kuat memegang adat istiadat?

Semakin malam, rumah tersebut semakin berkabut oleh asap rokok yang keluar dari mulut-mulut kaum Hawa dan Adam yang ada disana. Aku semakin shock, rumah ini tak ubah seperti sebuah diskotik khusus untuk kalangan mahasiswa. Di sudut yang agak temaram beberapa pasang anak manusia berpelukan, tak peduli keadaan sekitar. Huff, sekan-akan sekarang aku berada di dalam novel Moammar Emka, mengamati tingkah laku manusia dalam bentuk yang baru sekarang kulihat dengan mata kepala sendiri. Aku sempat kesal, temanku tadi tak kunjung kelihatan. Sudah kucari kemana-mana belum jua bertemu batang hidungnya.

Setelah hampir jam setengah tiga, aku tidak tahan untuk pergi ke kamar mandi. Setelah bertanya dengan laki-laki yang duduk di sebelahku akhirnya aku beranjak ke arah tangga naik ke lantai dua, ternyata kamar mandi terletak di bwah tangga tersebut. Belum sempat aku memasuki kamar mandi, aku melihat muka menyebalkan yang aku tunggu-tunggu turun dari lantai dua. Langsung kuseret dan ku bombardir dengan makian (sigh, akhirnya aku hilang kesabaran juga). Simple aku bilang aku mau pulang, soalnya besok aku ada kegiatan dikampus (mencatat kode seksi mata kuliah, hehe). Dia setuju.

Dalam mobil aku sempatkan bertanya, pesta jenis apa yang barusan aku lihat. Katanya itu cuma acara kecil-kecilan, ada temannya yang ulang tahun. Bah, dia pikir aku percaya. Lalu dengan nada agak marah aku bertanya lagi, "ngapain kamu lama-lama di lantai dua?". Santai sekali dia menjawab, "biasalah, udah lama ga cuci baut". Bah!!!! (dan kerongkonganku kering seketika)